Sabtu, 29 November 2014

Menyudut

ada perempuan dipojok jalan menangis Ma,,
orang-orang lalu lalang acuh tak acuh, sesekali menengok sambil berlalu,
ada pekerja kantoran menelpon dengn suara lantang, melirik sekilas perempuan itu, dan berlalu,
ada gadis-gadis bergerumun berceracah satu sama lainnya sambil cekikikan, tak peduli.
ibu-ibu dengn belanjaan yg lumayan banyak tergopoh, tak ambil pusing
anak-anak di samping ibunya mengenggam erat ujung baju ibunya, memperhatikan penuh tanya rasa ingin tahu kenapa perempuan itu menangis, ibunya memeperingatkan jangan nakal,
orang-orang tetap berlalu, naik turun tangan, keluar masuk metro, dan dia masih menangis di pojokkan itu.
lalu aku, sengaja duduk tak jauh dari perempuan yg menangis itu sambil menerka-nerka....

aku tak akan bertanya apa yang harus aku lakukan, karena aku sangat tahu apa yg harus aku lakukan ma,
aku tak peduli, harus tak peduli
seperti orang-orang disini, semuanya berlalu, berjalan tanpa menghentikan langkah mereka, karena mereka sendiri punya sesuatu yang harus mereka pikirkan, kerjakan dan peduli
jadi aku akan duduk di bangku ini, dan tak akan peduli,

apa kiranya yg akan kau lakukan ma?
mungkin juga akan tak peduli, seperti banyaknya orang, seperti aku ini sekarang
tapi, aku tak tahu apa yg akan kau rasakan,
yang akan kau pikirkan, yang akan kau lakukan,

semua hanya sebatas asumsi, terka dan sangkaan,
aku tak tahu tentangmu ma,,

kau mungkin tak menemaniku sekarang, menemaniku duduk di bangku ini yang tak peduli perempuan itu,
juga tak menemaniku di hari-hari lainnya, tak bersamaku ketika aku menikmati sesuatu, merasakan getir sesuatu,
juga tak bertanya apa kabarku, gimana hariku, ngapain aja?
tapi, selalu saja ada sosokmu, dalam hati dan pikiranku.

apa yg aku pikir, yang aku rasa, aku nikmati aku berbagi denganmu dalam relung,
saling menyapa, bertanya, membantah.

namun, aku tak pernah merasa cukup dengan itu semua,
ketika ada rasa yg ingin aku bagi, ada kata yg ingin aku sampaikan, ada pikiran yg ingin aku tanyakan,
semua menguap, meruap bersama dengan ketidakhadiranmu,
lalu aku dipaksa untuk tak peduli itu,
dipaksa menyampaikan semuanya dengan sosokmu yang bukan sosokmu,
dipaksa tak peduli itu semua
seperti sekrang ini, aku dipaksa tak peduli, kenapa perempuan di pojokan itu menangis, aku tak perlu peduli
buat apa? itu bukan kamu ma,,,

Sabtu, 18 Oktober 2014

Nda

Nda...Nda...
Sini duduk ke timang
Bercerita tentang lintang
bujur dan Bintang
lalu satu dua jatuh ke tangan
lainnya masih di angan

Nda...Nda...
Jangan buru-buru
Satu-satu
Nyawa kita cuma satu
Kesempatan boleh datang sepulu
Tapi apa kamu siap?
kalau kamu yang kesebelas

Nda...Nda...
Mari sini
Mari minum teh
hujan di luar, masuk ke dalam
meski becek sisa gerimis kemarin
lebih baik dari pada kamu meriang

Rabu, 17 September 2014

Surat Buat Ida

Maaf telat, Ida...
Tapi anggaplah ini hari itu


Ida... Bagaimana kabarmu? Masihkah kau seperti dulu? Yang baik padaku.
Bertanya bagaimana kabarku? Bagaimana aku? dengan nada dan intonasi yang selalu saja membuatku merasa dirayu

Ida... Lama sudah aku tak menulis surat untukmu, ketika sebelumnya kita sering berbalasan. Aku lupa sudah berapa tahun. Surat terakhirmu pun aku lupa dimana menaruhnya.
Maafkan aku Ida...

Ida... Kau pasti ingat bagaimana kita saling mengenal. Sayang aku lupa bagaimana kita pertama mengenal, Tahu-tahu kita sudah dekat dan kau ku sayang.
Tapi bukan cuma kamu seorang, aku banyak lupa bagaimana bisa mengenal orang-orang yang tahu-tahu mereka sudah sangat berharga.
Maklumilah Ida...

Ida... Terima kasih buat semuanya
Kau yang telah mau rela sekedar menengok ke dalam lapak hati.
tidak menawar apa, tidak bertanya siapa.
Sekedar datang singgah untuk kemudian pergi,
karena aku tahu di luar hujan, rinainya masih rintik di sirap depan.

Dan kalau bau tanah dan air sudah meruap, satu dua burung gereja yang hinggap di kusen musolla bekicau riuh,
Kau pasti akan pergi,
dengan sungging simpul senyum yang hampir luntur.

Sejenak berdiri, benahi rambutmu yang lembab sambil meninggalkan senyum itu,
Senyum yang sama manis sama asamnya dengan cantigi arjuna-welirang

Kalau sudah begitu, apa lagi yang akan aku perbuat?
padahal sedari tadi kau geming menghitung rintik hujan
Dan sekarang kau sudah tiada


Selebihnya, di belahan bumi mana, di waktu yang sama,
baik-baiklah Ida...

Selasa, 15 Juli 2014

Pantai dan Penjara

Ma..
maafkan aku yang belum bisa meminta maaf di depanmu, mengatakan "maaf" di hadapanmu,
bukan enggan,,,
tapi aku tak punya nyali bertemu denganmu, menatap matamu, memandang parasmu, mendengar suaramu, menghirup aromamu,
dihadapkanmu,,,
kelu...
bahkan hanya untuk memikirkannya saja aku tak bisa.

Ma...
aku masih mengagumimu, masih membencimu, masih memujamu, masih mengutukmu, masih mencintamu...

Ma...
apa anganmu sekarang? lalu apa lagi setelah itu? penuhilah...!
kalau sudah kau penuhi semuanya,
kutunggu kau di pantaimu, dan kan kupinang kau dengan cincin yang tak pernah kau semat di jari manismu
lalu setelah itu, kita akan tunggu apa yang akan datang setelahnya, Manis...




Senin, 14 Juli 2014

Dimana-mana

Aku di balik bayanganmu Kawan...
di gelap kamarmu,
di lipatan bukumu.
di saku bajumu,
di antara tuts laptopmu,
dengan dua mata yang tak bisa tak takjub,
karena ku tulis ini, salah satunya
untukmu Kawan....

Selasa, 24 Juni 2014

Mata Merah dan Basah

Perempuan berdaki, lelaki berdasi
di wajah mereka bermukim gundah
Gundah, sedu sedan dan resah
Resah dan gelisah. Sambil berkesah
Mata mereka basah dan merah
Sedih sekaligus marah

Mengingin apa, memuja siapa
Ditampar sunyi, ditelan senyap
Mereka bersendiri dengan amarah





Selasa, 27 Mei 2014

Ujung Pena

Penaku sudah aku runcingkan
Garis tipis tak beraturan
membentuk sebidang abstrak kecil
di pojok kiri baris pertama portofolio
Apa yang hendak aku tulis,
aku tak tahu
Untuk memulai kata saja aku tak mau,
tak bisa, karena pikiranku
semerawut berantakan.
Semua kata yang aku pilih
bermuara padamu,
Entah di karakter yang ke berapa
Selalu dan pasti berlabuh padamu
bahkan untuk sebuah makian
juga kutukan, semua sama,
apalagi yang indah-indah
yang manis-manis
Lalu buat apa aku hadirkan kertas
dan ujung pena ??

Aku coba tutup mataku,
bayangmu mengagetkan
Aku tajamkan telinga,
suaramu gemeresak
Aku hirup dalam udara,
aromamu semerbak
Aku diam,
Semuamu hadir...

Namamukah yang harus aku tulis?
Namamulah yang harus aku tulis?
Namamutah yang harus aku tulis?
Manis...

Lalu setelah itu, biarlah Pena
yang menerus...




Senin, 26 Mei 2014

Sebut

sebut saja Mad, mengenalnya karena keadaan, menjadi kawannya, sahabatnya, rivalnya, saudaranya, bukan karena darah atau pernikahan,
satu dua kita bicarakan, tertawakan, keluhkan
dan bagikan

sebutlah Mar, kakak wanitanya yang kuat dan lemah, karena memang begitulah wanita.
melewati banyak babak dalam hidupnya, sebagai seorang kakak buat adik-adik yang sangat ia cintai.
sebagai kekasih yang mencintai terkasihnya,
bertukar perasaan dan tawar-menawar masa lalu.
hormatku padanya.

sebut juga Mah, adik mereka yang aku beruntung bisa menganguminya, menyanyanginya dan mencintainya,
sebagai gadis yang rapuh dan tegar, yang memikat hatiku,
banyak pertanyaan di sela-sela gumannya.

lalu sebut Aku, yang sekarang berdiam di remang kamar dengan cahaya bulan yang menyeruak masuk kamar, temaram.
melakukan salah, membuat keadaaan jadi runyam dan serba salah.
aku akui kesalahanku mencintai.
mencintainya.
iya
kesalahanku mencintainya.



Senin, 21 April 2014

Ayah

Dalam gamang, aku tak bergeming
Menikmati secangkir malam
Pahit...
Kopiku tumpah membentuk angkasa
Dan di belahan bumi sana
Aku titipkan do'a
Di balik saku kemejamu,
Melekat juga aroma yang belum aku lupa.
Ayah...



Logika Terbalik

cup...cup...cup...
berhentilah menangis, manis !
aku tak bisa menghentikan
airmatamu di mataku

ingat waktu kamu tertawa !
lewat mulutku
menyenangkan, kan !?

waktu kamu sakit, aku yang harus minum obat
waktu aku lapar, kamu yang harus makan

tapi anehnya, kalau aku atau kamu menguap,
kita berdua merasa mengantuk

jangan-jangan kita sedang mimpi ??




Kamu yang ku baca


kamu adalah buku yang tiap hari aku bolak-balik halamannya.
yang selalu kubaca lembar-lembar barunya dan juga yang sudah-sudah,
karena kadang aku tak sempurna membacanya,
ada satu dua kata yang aku tak tahu maknanya,
satu dua kalimat yang aku tak faham maksudnya,
satu dua lembar yang luput terbaca.

kamu selalu kubaca.

kamu adalah buku yang tiap pagi ada di atas mejaku bertumpuk-serakan dengan buku yang lain,
tapi selalu kamulah yang pertama aku baca.
suatu waktu aku membacamu terasa semilir, di lain waktu aku bak mengecap getir.
dan kemanapun aku pergi selalu saja senandung lirih judulmu terbisik,
padahal aku tahu, aku tak pernah pergi kemana-mana selain bersamamu.
meski, hanya dengan mengingatmu.






Jumat, 18 April 2014

Surat Botol

Kamu tahu...

Aku tak pernah merasa menyesal dengan kamu, sama sekali, kecuali satu, kamu tak bisa bicara
dengan jujur, dengan lantang, dengan terang di depanku tentang apa yang kamu rasakan.

Selebihnya aku tak pernah menyesali apapun.
Aku tak pernah menyesal hanya bisa mendengar celotehmu tanpa bisa membalasnya dengan yang manis-manis.
Aku tak pernah menyesal ketika kamu berpaling saat suasana hatimu kacau.
Aku tak pernah menyesal ketika kamu mengutukku.

Aku tak pernah menyesal...

Aku tak pernah menyesal mengenalmu.
Pun, aku tak menyesal mencintaimu,
Aku merasa beruntung bisa mencintaimu.
Melihatmu tumbuh merekah, menjadi jelita, menjadi pelita.
Aku juga merasa beruntung bisa menunjukkan padamu dunia yang kau kira bukan tempatmu sebelumnya.
Dunia dimana kata yang kosong bisa sangat bermakna, sangat merubah dan sangat memukau.
Dunia dimana kenyataan menjadi bahan cerita, kehidupan menjadi guru semesta, dan alam menjadi alat menulis.
Aku merasa sangat beruntung, tak ada rasa sesal kecuali satu itu, kamu yang tak bisa lantang.

Aku tak akan berharap, apalagi yang muluk. selain karena kamu tak percaya harapan, juga bukan harapan yang membuat kita bertindak berbuat.
Keinginanlah yang memicu, yang memacu, yang memecut.
Aku ingatkan aku.
Inginku bukan inginmu,
Inginku berbeda dengan inginmu,
Inginku belum tentu inginmu.
Namun, biarkan kali ini aku ingin keinginanku menjadi inginmu.

Aku ingin kamu berkata Kata-kata, yang ketika kamu katakan Kata-kata itu di depanku, besok kau sudah perempuanku selamanya.




Senin, 07 April 2014

Kunyah-kunyah

Kau menemukan sebuah batu dijalan,
Kau yakin itu batu mulia
Dan kau yakin juga akan membuatmu mulia
Lalu kau kunyah
Sampai gigimu gemeretak, coba kau kunyah
Sampai gigimu rompalpun tetap kau kunyah
Sampai gigimu rontokpun masih kau kunyah
Sampai gigimupun terus kau kunyah
Hilang gigimu, kau kunyah gigi orang
Ambisimu masih lebih tinggi lagi
Kau ambil semua gigi orang yang kau temui
Kau ambil giginya, lalu kau kunyah
Kau kunyah sampai marem sambil merem
Lalu kau tersedak dan mati
Tahu-tahu kau sudah sebuah batu



Rindu yang Keji

Kita sudah lama berjarak
Jarak itu yang kita buat
Diantara jarak, ada simpul,
Bernama Rindu
Iya... Rindu
Simpul Rindu yg keji
Dan aku baru tahu, Rindu itu keji
Lalu sekarang aku merinduimu,,,


Bangun Pagi

Kau masih belajar berjalan ketika aku sudah bisa berlari,
Tapi ada pula yang sudah mati saat aku baru bisa makan sendiri
Apalah artinya takdir kalau cuma catatan kapan mati

Di mimpi
Yang mati hidup
Yang hidup mati

Apa kita masih bermimpi?

Jumat, 28 Maret 2014

Karena

Manis...
Aku tak pernah selesai mendo'akanmu,
dan berterimakasih...
Sudah sudi singgah di hatiku,
Barang sejenak,
Karena (bagiku)
"Sejenak itu selamanya"
Karena (bagi kita)
Siapa yg tahu sedetik kemudian?
Karena (bagi siapapun)
Tak ada yg tahu rahasia Tuhan

Manis...
Terima kasih
Manis...
Bahagialah!
Manis...




Senin, 17 Maret 2014

Hei...

hei.. kau yang kurindu!
enyahlah dari hadapanku, hilanglah dari akalku!
menjauhlah...! aromamu masih semerbak, 
diamlah...! suaramu masih terngiang,
berpalinglah...! wajahmu masih terbayang.



Selasa, 11 Maret 2014

Bing...!

Kumandang kekal
Kupandang lekang
Parasmu datang
Lalu menghilang
Bilang !
Bilang !
Bila ?
Bing...*



*Bing adalah ning/neng dalam bahasa madura....




Minggu, 02 Maret 2014

Puspa dan Cantigi


Kamu melangkahkan kaki kirimu ke depan satu langkah, lalu yang kanan, kemudian berbalik membelakangi jalan makadam ini dan berjalan mundur.
berhenti sejenak lalu maju ke arahku dan berhenti. ku ambil jalan ke kiri mengikuti alur jalan ini, tapi kau tutupi. aku ambil jalan ke kanan kau tarik lengan jaketku.
kita berdua terhenti dan kau menyeringai. gingsulmu tampak jelas. Lucu.

ANGIN MENGHEMBUS ILALANG

"Kita tidak pernah menanam apa-apa, kita tidak pernah kehilangan apa-apa" lantang suaramu. aku tersenyum tipis, dan berlalu tiga langkah meninggalkanmu yang

masih jongkok memungut biji-biji puspa. apa kamu akan menanamnya di jalan? seperti hendak menabur benih nila di muara saja? Buat apa?
kamu bernyanyi lamat-lamat tapi masih bisa kudengar jelas, lalu bersiul dan beringsut ke arahku. apa karena malam? atau bulan yang tak terang? atau dingin?
kenapa kamu melakukan semua itu? maju selangkah, mundur selangkah, geser ke kanan/kiri sekali, sesekali kamu berhenti mendadak lalu berlari.

SUARA JANGKRIK BERTALU

Aku masih mengulum empat biji cantigi yang rasanya masam manis, dan walau dengan secangkir coklat, wajahmu masih kelihatan mengapur kedinginan,
tapi tidak binar matamu yang menyorotku tajam mengisyaratkan rasa puas dengan semuanya karena sebentar lagi usahamu terbayar.

LENGKINGAN ANJING SAYUP

Lalu tiba-tiba banyak orang berdiri berkerumun ke tempat yang lebih tinggi dan kamu malah menyisir jalan setapak menurun merendah.
Kamu duduk terdiam di atas padas, -tidak seperti sebelumnya- kali ini kamu senyap. Lalu dua bulir air-mata meleleh. aku tak bisa berbuat apa dan berkata apa,
Kata tak akan cukup untuk berkata kala itu.

HENING

Air-matamu makin deras dan ditambah sesegukanmu, aku makin bungkam.

" Sejenak ini adalah Selamanya " kataku.

Wajahmu merah padam mendengarnya, buru-buru kau seka airmata dan ingusmu lalu menatapku.
Berbarengan dengan pendar mentari, aku bisa lihat air-matamu dipadu dengan senyum manismu tidak pernah cocok. Lucu.



Rabu, 19 Februari 2014

Abu-abu

Manusia itu yang abu-abu
Mereka yang tidak selalu berbuat baik kemudian menjelma menjadi orang suci
Atau mereka adalah yang pendosa?
Kau tahu pendosa itu apa? Kau kah itu?
Atau hanya yang pernah berbuat dosa? Yang mendosa?
Dalam hidup ini ada hal-hal yang tak ingin kita ingat dan berharap itu hanya ilusi atau fatamorgana atau mimpi yang (mungkin saja) tak pernah terjadi
Sayangnya...
Di dunia kita hidup sekarang ini tidak menawarkan layanan ulang
Yang dapat mengulang kejadian agar tidak seperti yang lalu

Hari ini, masa lalu esok
Hari ini, masa depan buat kemarin
Hari ini kita hidup, kita yang kemarin sudah mati. Dan hanya jadi bahan ulasan sejarah atau gunjingan
Besok, kita belum lahir



Tenggelam

Sebagian manusia menilai lainnya dari sudut pandangnya dan sudut pandangnya bahkan terbentuk jauh sebelum dia bisa menilai orang lain.

Dari kesehariannya mulai dari dia bangun sampai terlelap lagi. Apa yang dialaminya, dilihatnya, didengarnya,dibacanya, dirasanya masuk alam bawah sadarnya. Dari sinilah terbentuk pola-pikir yang menghasilkan tindak-tanduknya dan penilaiannya, lalu ke sikap dan bisa menjadi jati dirinya.

Orang yang selalu dimanja jelas berbeda dengan yang harus berusaha keras mendapatkan sesuatu, yang keras hidupnya belum tentu bisa satu meja dengan pengecut.

“Setiap orang punya masalahnya sendiri”. Siapa yang tahu akan itu, sebagian lainnya menyembunyikannya karena beberapa sebab, ada yang malu, sampai tak ingin lainnya ikut terseret kedalam masalahnya, ada pula yang meremehkan lainnya.

Malahan ada juga yang sudah terlalu jauh tersesat dan sudah tenggelam terlalu dalam. Hingga (mungkin) kita hanya bisa mendo’akan semoga dia tenang disisi-NYA dan yang dialaminya tidak menimpa lainnya dan segera berlepas dari kesulitannya. Mati secepatnya


[I HAVE SUNK SO LOW] Katanya .


Aku tetap tak tahu kalau kau (tak) akan peduli


Kalau aku tahu akan begitu jadinya, mengapa aku tetap begini? Masalahnya karena aku tahu akan begitu dan aku tetap begini. Aku tahu kau bukan satu-satunya yang akan diam saja, seperti air yang akan rusak kalau kau biarkan diam di satu tempat, dia selalu mengikuti hukum alam, menjalani lakonnya, menerima kodratnya dan tunduk patuh pada titahNya. Menempati ruang yang ada, melewati sela dan celah, mendinginkan yang sebelumnya gersang.

“Hentikan bualanmu!”

“Apa maksudmu?”

Kau kenal Penghardik itu sebagai sosok yang mendiami salah satu sudut jiwaku -yang aku belum tahu  tepinya-, dia selalu saja mempertanyakan apaku, mengkritiki lakuku dan membencimu. Aku bisa fahami geliatnya membencimu, semua karena aku cintaimu, yang kau mungkin menyeringai mendengar itu atau mengeluh nafas panjang mengetahuinya atau juga tanpa ekspresi dengan wajah datar, dan tetap saja aku mencintaimu. Aku tak peduli kata orang tentangmu, tentang aku, dan tentang kita. Aku bahkan tak pedulikan kata-kataku sendiri tentang semua itu, aku tetap begini untuk hal ini. Tapi apa aku perlu menimbang-nimbang kalau itu darimu?

Kenapa tidak, dia membencimu? kalau aku berusaha menyiangimu siang malam dalam hati sampai-sampai aku lupa kalau aku tak akan tahu kapan menuainya, kalau-kalau aku lupa untuk melihat lainnya. Terlalu disibukkan dengan setangkai bunga membuat kita lupa dahannya, daunnya, akarnya dan durinya. Pun terlalu terpatri dengan satu pohon membuat lalai akan satu taman.

Bisa saja orang berkata “biasa-biasa saja segalanya, jangan terlalu melebih!” lalu kenapa kata-kata ini hanya seperti pemanis buatan bagiku? Atau harus ku tunggu sampai kata-kata itu mampu merubahku, ketika kau sudah beranak 2 kah? Banyak yang berubah didunia ini -memang begitulah makhluk itu- dan tidak sedikit yang tidak. Kalau tuhan menciptakan alam semesta dan segalanya, maka mana yang bisa kita ubah dan mana yang tidak dan mesti disucikan juga disakralkan?.

Aku padamu yang berubah, dari tak tahu menjadi kenal lalu kagum kemudian suka dan sekarang berusaha mencintaimu. Kau lah yang tidak, tidak berubah seperti semula. Bisa saja aku bukan yang sekarang ini besok-besok, lalu kucoba membaca yang sudah-sudah dan berubah lagi. Tapi tidak kau yang seperti sedianya.

Kita berjarak, memang kita berjarak, yang jarak itu bukan menembus batas, ruang dan waktu yang berbeda. Kita bahkan berhadapan, aku di depanmu yang kau menatapku. Kau juga yang bisa berjalan disisiku dan duduk satu kursi dalam bis kota menuju terminal pasar malam. Tapi kita tak pernah semakin mendekat barang 3 mili, langkahku tak membawaku kepadamu dan kau pun tetap tak beranjak dari tempatmu berdiri. Ada dinding kasat mata yang menghalangi, atau sebenarnya kita tahu itu tapi mendiamkannya, lalu kita hanya percaya pada ihwal yang ingin kita percayai saja.

“Kau tahukan kalau aku mencintainya? Kenapa kau tak larang atau tak kau halangi?” pernah sekali kutanya orang terdekatmu.

“Aku sudah tahu, aku tak melarang –itu kebebasanmu- tapi tak juga mendukung, kalau menghalangi….buat apa? Kan sudah terhalang.” Jawabnya.

“Kau bisa mendapatkan yang lainnya” suatu kali yang lainnya berkata padaku tentang hasratku padamu.
Seperti melawan kehendak kebanyakan -aku ini padamu-. Karibmu, kawanmu, keluargamu dan akan lebih sengsara lagi kalau keinginanmu juga, padahal kehendakku sudah tak men-iya-kanku. Menyatu itu bukan hanya tentang dua orang, namun segalanya. Tapi bagaimana kalau semuanya menentang? Aku tetap berupaya karena satu alasan, karena untukmu harus menjadi aku.

-Kata tapi adalah yang paling penting- Tapi kalau harus menjadi aku, sampai kapan kalau kau tak pernah beranjak? Buat apa, kalau hanya akan menghabisi diriku sendiri? Aku selalu dicerca pertanyaan Penghardik ketika aku terseok ringkih mengarah padamu, dia akan memegang leherku dan menamparku 4 kali -2 di pipi kanan & 2 di kiri- lalu lantang berteriak sambil menggoyang-goyang tubuhku.
“Bodoh…! Bangun kau goblok! Matamu butakah? Hatimu matikah? Gila kah kau?”

Biasanya aku tak akan menghiraukannya dan tetap menatap punggungmu yang menjauh dan semakin menjauh –entah dengan siapa, lebih seringnya kau berjalan sendiri- dan melantunkan namamu yang bisa kutemui disetiap sudut kota ini. Aku akan menatap matanya hanya kalau dia sudah sendu –mungkin karena putus asa- sambil meratap.

“Apa lagi yang harus ku perbuat, kalau kau sudah mati rasa? Sudah tak peka? Aku melakukan segala cara untuk meyakinkanmu, selalu saja kau bantah dengan argumen yang tak masuk akal. Memang cinta perlu nalar dan perasaan, tapi tidak buatmu yang melebihkan salah satunya. Bukannya ini sudah bukan cinta, ini kegilaan.
Kau yang mengagungkan nalar, logika dan akal, untuk hal ini menjadi idiot. Sekarang aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, mengasianimu bukan pekerjaanku. Kalau ada orang yang mengasianimu, kau bilang “tak perlu mengasianiku, aku sedang menikmati segala momen yang ada”. Kalau ada orang yang menganggapmu bodoh, kau bilang “inilah cinta”. Apa kau tak merasa dibodohi? Dibodohi oleh dirimu sendiri.

Habis sudah kata makian untukmu. Aku harus mencari kata baru atau menunggu kata serapan untuk memakimu. Sebuah kata yang mewakiliku untuk menghujatmu, mencercamu, merasa kasihan padamu, dan yang bisa melunakkanmu. Sekarang aku belum menemukan yang paling pas, hanya saja ada kata yang sedikit bisa memberimu masukan.
Ini dariku untukmu yang paling dekat denganmu, yang paling memerhatikanmu dan yang paling menyayangimu –tentunya setelah Tuhan yang Maha Esa-, sebuah kata yang saat ini cukup untukmu itu :

Maaf….”

Waktu itu, setelah dia datang padaku dengan wajah sendu dan mimik yang sedan, dia sudah jarang bertegur sapa denganku untuk masalah ini, dia lebih sering berdiri dibalik bayang hitam mengamatiku dari jauh tanpa memunculkan ekspresi apa-apa. Aku tak suka hal itu, lebih baik dia menghajarku dari pada diam membisu. Walau memang diam lebih baik namun kadang lebih menyakitkan.

“Aku cinta kau hari ini, entah esok” bukan sebagai alasan aku akan berpaling, bukan juga sebagai pembelaan kalau-kalau aku mangkir dan khianat, tapi penegas kalau hati siapa yang tahu dan juga pengingat kalau selalu ada usaha dan pengorbanan dari sebuah ketidakpastian.

Aku selalu berusaha mencintaimu –meskipun dengan cara yang berbeda-beda- dan berdoa tak ada kata “pernah” padamu. Kan selalu ku ulangi kata itu sampai kau benar-benar menjadi alasan untuk semuanya, bagiku -bahkan setelahnya-.

Mungkin nanti di jalan akan ada yang bertanya tentangmu, pastinya kujawab :

“Alhamdulillah baik, insyaAllah…”

Baik-baiklah Ma…

Kairo, 912014

Selasa, 18 Februari 2014

Bumiku Ibuku

Bumi adalah ibu
Darinya kita bermula, padanya kita kembali
Diatas pangkuannya kita beranjak pergi, lalu
Pulang lagi merebahkan kepala
Yang sudah letih dengan
Pertanyaan-pertanyaan tak berjawab
Dan berkata : "Ibu... Aku letih"
Dan dia masih saja dengan simpul senyum
Yang tak pernah berubah berkata :
"Mari sini anakku ke timang Ibu.."

Kalau boleh ditebak, dia (bahkan tak) peduli ini buatnya


Apa kata yang tepat untuk mewakiliku sekarang, antara pesimis dan optimis, antara terus dan berhenti sejauh ini? Mencintaimu, menginginkanmu dan meletakkanmu jauh dilubuk sana, lalu berharap begitu selamanya, tapi tidak akal sehatku.

“Buat apa?”

“Buat apa katamu? Tentu buat kukemas rapat-rapat dalam hati dan menjaganya”

“Kenapa?”

“Kenapa kau masih bertanya? Aku mencintainya”

“Jangan bodoh! Kau tahu ada banyak hal yang kau tanyakan atau lebih tepatnya pertanyakan. Mana dulu jargonmu kau lahir hanya untuk mencintai wanita? Lihat! Kau ini terlalu idealis atau tak bisa menentukan sikap? Kau tak pernah percaya dengan pertemanan laki dan wanita kan!”

“Persahabatan, bukan pertemanan”

“Apalah itu…”

“Kau harus bedakan”

“Terserah…! seperti lakinya dulu kau tak bisa terima kan?”

“Aku tak seperti dia dan aku bukan dia”

“Sama saja”

“Bukannya itu tanda aku benar menyukainya?”

“Gombalmu terlalu basi, terlalu mencintai bisa membunuhmu. Toh… apa kata kakaknya coba kau cerna baik-baik. Dia tak melirik ke arahmu dan kau sendiri tahu kelak akan menyesalinya, cukuplah itu buatmu! Di hadapannya pun kau bilang menyukainya, dia jawab “semua orang bebas mencintai siapa saja yang dia suka” kau ingat?”

“Memang demikian kan? Kenapa kau masih bertanya?”

“Sudahlah, perhatikan sekitarmu, sekelilingmu!”

“Maksudmu pandangan orang-orang, omongan mereka? Buat apa peduli itu? Apa yang dipikirkan orang itu hanya kekangan buat kita.”

Hahaha… bodoh kau ini. Apa kau bukan orang? Lantas pandanganmu dan omonganmu sendiri cuma angin lalu, cuma sakit perut yang menyiksamu lalu jadi kentut?”

“Aku bisa jujur”

“Baguslah, sudah seharusnya demikian.”

“Aku tak tahu antara berusaha menerima segalanya darinya atau merasa cukup sudah, antara memujanya dan kenyataan yang ada, kenyataan kalau aku bukan apa. Tapi aku tak akan menarik kata-kataku kalau aku mencintainya dan akan melamarnya bahkan berdo’a semoga tidak ada kata “pernah” diantara kami. Pernah mencintainya, pernah akan melamarnya, pernah peduli dan menghawatirkannya, hanya menjadi kata pernah dan sebatas pernah. Kuakui sebagai pencemburu, tapi siapa aku? Dia?
Aku ingin sekali mengatakan aku bukan orang baik dan tak pantas. Apa yang dipikirkannya pun aku tak tahu. Aku ingin meyakinkannya dan melarangnya ini-itu, tapi bodoh kan? Sekali lagi, siapa aku buatnya?”

“Baguslah kau bisa dan mau sedikit jujur kalau kau berhasrat memilikinya. Itu biasa saja, manusiawi kan atau hewani? kau setuju kan kalau manusia itu hewan? Hewan yang diberi sedikit kemampuan lain berupa akal?
Intinya kau mencintainya dan berusaha menerima apa-apa darinya yang tak kau suka, lalu dengan konyolnya mengatakan “inilah cinta, penuh upaya dan perjuangan”.
Dasar goblok kau ini! Aku sadar tak ada yang namanya pasangan yang cocok dan serasi dalam segalanya lalu disinilah letak usaha mereka, “cinta” mereka yang membuat mereka menjadi orang yang benar-benar tolol. Yah… kau yang sebelumnya ceroboh, bodoh dan tolol bertambah massanya.
Tanya dia! Tanya yang kau pastinya takut buat sekedar bertanya. Kau takut dia akan enek dan nyinyir denganmu, padahal yang kau takutkan bukan itu. Kau takut kalau-kalau jawabannya tak seperti yang kau pikirkan, kau takut jawaban darinya adalah jawaban yang tak kau inginkan, takut kalau kau tak bisa peduli dan khawatir padanya lagi, kau takut harus berubah. Kau juga takut kalau jawabannya ada yang benar, benar kalau dia tak peduli dengan apa-apa yang kau pikirkan dan rasakan, pedulimu. Terlebih kau takut kalau aku benar hahaha….

“Kau tahu? Kita memang berbagi ketololan dan kegoblokan tak berkesudahan. Filosof mungkin tak akan pernah menemukan arti filsafat sebenarnya sampai akhir hayat, pecinta juga.”

“Tak usah kau membela diri, akui saja, apa pedulinya kau peduli?”

“Kalau kau ingin jawaban yang membuatmu puas, aku katakan sekali saja. Iya aku mencintainya kalau-kalau aku rela pergi jauh hanya untuknya, iya aku juga benci dia yang memberitahuku dengan halus arti jarak itu bukan antara dua benua tapi dia yang berdiri di depan pintu dan aku yang duduk di sofa tanpa mengerti satu sama lainnya.
Ada harap dan asa diantara pertanyaan mengapa. Mengapa kita tidak bisa mengerti satu sama lainnya?
Kunikmati semua selingan rasa yang silih-ganti berhampiran”

“Kau harusnya tahu diri. Kuulangi pertanyaanku supaya kau tahu sejauh mana upaya bodohmu membuahkan hasil. Dari tadi kau selalu berputar-putar kalau aku aku dan aku tapi tak tahu maumu sendiri, sok menikmati keadaanmu yang menyedihkan.
Sekarang….Apa pedulinya dia kalau kau peduli?”

Begitukah ma? Atau bukan begitukah ma?



Kairo, 131213

Hampir Lupa

aku hampir2 lupa untuk mengingatmu kala purnama,
yg setiap datangnya selalu teringat parasmu, bibirmu, matamu,

suaramu, aromamu
bukan karena ketidakhadiranmu kali ini, karena memang selalu

tanpa kehadiranmu
tapi karena hari2 ini banyak yg terlupakan

Senin, 17 Februari 2014

Binar 3

kapan kita bertemu
atau bisakah kita bertemu
nyatanya kita bertemu, walau di mimpi
tidak seperti yg pernah kualami
sobat karib yg lama tak bersua,
dia jauh disana
tapi kau, jauhmu beda
kan ku susul kau, yg entahlah
bayanganmu tak bisa kutepis
datang silih berganti, momen yg berbeda
kutemui kau bertanya, bersenda, mengheran
kudengar kau teraniaya, mempertanyakan
kutemani kau berjalan, berlari, menari
kudatangi kau terlelap, makan, berteriak
aku lupa aromamu, suaramu hanya lirih
jalan beraspal yg kita lalui masih adakah
tatapanmu nanar pandanganmu binar meredup 


*Buatmu kawan, lama kita tak sua

Binar 2

Kau yang terbujur kaku
Mengapa wajahmu mengapas
Mengenalmu tak seperti sebelumnya
Tatapanmu nanar
Aku dihadapankanmu

Mendengar kabarmu, aku bertanya bimbang
cemas penuh harap, berharap ada yang salah
Mungkin di lidah orang atau telingaku
Tergambar jelas air mukamu, parau suaramu
tawa khasmu, kian jelas
Lenyap




*Buatmu kawan, lama kita tak sua

Minggu, 16 Februari 2014

Binar 1

jalanan langgeng sunyi senyap sepi tak bergeming
disinari kuning merkuri tiap 11 meternya
ada yang hilang, sebagiannya pecah
laron mengerebungi salah satunya
satu dua tersesat di lain tempat
tak ada yang berani angkat suara
seakan lidahnya terpotong
hanya angin yg berbisik lirih
entah potongannya kurang dalam
atau ada yang mendesaknya
jauh di gelap sana
seakan sepasang mata mengamati
dibawah temaramnya sosok itu
membatu mengapas mengelupas
tak ada yang menyadarinya
sampai truk melewatinya
sebelum pijar merah lampunya
hilang tertelan di ujung jalan berkelok
dan lagi-lagi hanya angin
yg membawa lirih sedu nan sedan
dibawah temaram rembulan nan gersang


*Buatmu kawan, lama kita tak sua

Jumat, 14 Februari 2014

Kedung Larangan

bangil
bau tanah becekmu, masih samakah
air langitmu, masih seperti dulukah
gemuruhmu, masih keraskah
alun-alunmu
masihkah tegak beringinnya
masihkah lembab rumputnya
masihkah gelap petangnya
kedungmu
masih dangkalkah airnya
masih kokohkah jembatannya
masih banjirkah
aroma sedap malammu masih ku ingat

bangil, masihkah kau ku rindu

Kamis, 13 Februari 2014

Buat apa?

Buat apa membangun?
Kalau kau yang akan meruntuhkannya.
Buat apa hidup kalau kau akan membunuhnya?
Pisaumu tak setajam tatapanmu
Suaranya tercekat dibalik batang kerongkongannya
Aku tak tahu (    )
Pitanya atau tidak
(   ) berlari tak bertaring
Berkukubelah
Lainnya duduk tenang
Dengan tatapan dingin
Bengis tak berperasaan
Yang memutuh rambutnya
Berharap belas kasih
Buat apa? Menanam kalau kau yang menjarah

Minggu, 09 Februari 2014

Untukmu Ma..nisku

selagi saya berakal sehat,
saya ceritakan dengan kepala dingin ( soalannya sering kalap dan gelap mata sekedar memikirkanmu manis...)
kuakui benar aku cinta kau, tapi sebelumnya, saya pun awam soalan kata ini -cinta-(mungkin juga ini yang menyebabkan sering dibutakan dengan kenyataan dan keyakinan kita), bagi saya semua kata mewakili dirinya sendiri -artiannya, maknanya dan esensinya- tanpa perlu pemaknaan dari kata lainnya dan penunjang kata lain.
tapi manis...
"kata" itu kosong.
tak membawa dampak atau maksud apa-apa bahkan tak beda dengan hanya sekedar bersuara dan berbunyi, semua mungkin bisa berbunyi, angin yang menggerakkan pohon bambu membunyikan laras atau air yang dipercik ikan disungai atau gesekan sepatu-sandalmu dengan trotoar melangkah ke kuliah, manis...
namun, suara pun kadang mendatangkan makna dan tafsiran yang beragam, semisal semilir angin dari pantai madura atau bunyi jalan ulin yang dilewati motor atau hembusan angin utara di gunung arjuna.
apalagi sebuah kata yang saling kita fahami, tentu "kata" lebih dari hanya sekedar bunyi atau suara,
tapi "kata" tetaplah kosong selama belum terisi, dan yang mengisinya, menjadikannya memiliki arti dan makna adalah aplikasinya, penerapannya.

selama ini ketika mengingatmu ada sembilu di kalbu menyayat, karena tahu aku tak menemukan apa yang kucari,, hatimu.
bukan seluruhnya karena kita memang sama mengimani Tuhan,
bukan juga sebagiannya karena tentu masih banyak orang2 yang harus kau letakkan rapi tersusun di sanubarimu.
aku hanya ingin menemukannya, itu saja.
kadang pula aku merasakan semilir hanya dari sebuah obrolan ringan kita, lakumu, balasan pesanmu bahkan hanya sebatas sapaanmu.
kadang pula otakku bekerja dua kali ketika menerka-nerkamu, silih ganti memuja dan menghujatmu.
kupuja kau kalau-kalau kau besok melahirkan anakku, kuhujat seakan aku tahu bapak anak itu bukan aku.
kalau kau pernah dengar "love drive you crazy", saya kira dulu cuma bualan, tapi sekarang saya diambang kegilaan.

manis... kalau selama ini kau dapati aku tak tentu, itu semua karena memang cinta hanya seperti kata lainnya yang kosong, dia sama seperti kata benci, dendam atau karma.
kosong...
sampai ada penerapannya...
dan selama ini aku berusaha mengisi kata itu dengan berbagai cara yang -karena mengisi kosongnya kata hanya dengan perbuatan- bisa jadi lakuku padamu selama ini kau terima baik, ada pula yang yang kau sesalkan kau kecam,
maafkan aku...

manis... kau tahu diambang ini, aku pesakit
kau lah sebabnya, kau pula obatnya...
katakan sesuatu dan itu memang perlu,,,
bilang "jangan!" supaya tak was-was hati ini...
atau kalau kau rasa aku bisa menemukan hatimu -yang hanya kau yang bisa menuntun kesana, setelah Yang Maha Kuasa-
tunjuki ku arahnya..
itu saja,,, ma..nis

24/1/2014

Rabu, 22 Januari 2014

Sinin (Bertahun)

“Sa’ah kam dilwa’ti ya amm?”

“Zayimbarih”

Dialog ringan pinggir jalan yang dipakai anak-anak main bola untuk pejalan kaki yang lewat tergesa, sebuah pertanyaan yang terlontar mungkin karena khawatir sudah terlalu lama mainnya dan takut omelan ibu dirumah atau sekedar mengingat waktu sholat yang hampir luput atau janji ketemu teman membahas PR matematika akhir pekan.

“Jam berapa sekarang?” sebuah pertanyaan lumrah yang sering kita dengar dimana-mana, entah dari siapa buat siapa, entah pula apa alasannya -selain yang zahir bertanya waktu itu-, bisa ditemui waktu kerja, di kuliah, di pasar, di masjid atau di jalanan biasanya.

Jawabannya macam-macam :
“Jam satu dua puluh empat menit”
“Jam setengah tujuh”
“Jam lima lewat seperempat”
“Jam sepuluh kurang sepertiga”
Atau semisalnya yang beragam sesuai waktu itu, bisa juga dijawab seperti pejalan kaki itu “Kayak kemaren”. Iya jam sore petang ini sama dengan sore kemarin.

Kita bisa jawab hari ini seperti kemarin, keadaan hari ini, suasana hati hari ini, cuaca juga -kalau bertepatan sama- kayak kemaren dan jawaban serupa untuk pertanyaan serupa.

Tapi kita tidak bisa menjawab dengan “Kayak besok”, karena jelas, itu apa yang masih samar, belum kita tahu, bahkan kita tidak tahu.

Hatim Ath-Tho’i pernah berkata : “Apalah artinya masa, melainkan hanya hari ini atau esok atau kemarin”

Hari ini boleh jadi kita senang tapi mungkin bukan berarti selamanya atau hari ini galau bukan juga kita akan lewati sisa hidup dengannya atau aku yang bilang cinta kau hari ini mungkin besok sudah lupa.

Kita tak bisa paksakan apa yang harus berlaku besok dan mesti terjadi, tapi apa yang akan terjadi besok, itu lain cerita. Ketika sebuah kata ketidakpastian dan ketidaktahuan mendorong untuk berbuat lebih dari yang diharap, pastinya bukan ilmu pasti yang harus selalu berbuah hasil. Hanya saja tidak tahu itu menguji.

Ah… sudahlah, seperti kata orang tadi waktu ditanya anak kecil “Om.. jam berapa sekarang?” dijawab “Kayak kemaren” lalu mereka kembali ke aktivitas masing-masing, main bola jalan terus, yang tergesa lebih tergesa lagi dan berlalu cepat-cepat. Aku pun tak mau menyisakan tanya buat besok yang belum datang kecuali satu “Kayaknya saya harus berbuat lebih, iya kan ?”

Selasa, 07 Januari 2014

Hujan Desember

Hujan bulan desember tahun ini turun terlalu sering dan terlalu lama
Tapi tetap, menghadirkan bau rindu yang sama-sama kita suka
Kalau-kalau hari ini akan selamanya
Sampai-sampai nyaris kita lupa kalau obat rindu itu bertemu
Kutunggu kau di pondokan arjuna

Agar ingat kalau kita pernah sama-sama rindu di suasana itu