Rabu, 17 September 2014

Surat Buat Ida

Maaf telat, Ida...
Tapi anggaplah ini hari itu


Ida... Bagaimana kabarmu? Masihkah kau seperti dulu? Yang baik padaku.
Bertanya bagaimana kabarku? Bagaimana aku? dengan nada dan intonasi yang selalu saja membuatku merasa dirayu

Ida... Lama sudah aku tak menulis surat untukmu, ketika sebelumnya kita sering berbalasan. Aku lupa sudah berapa tahun. Surat terakhirmu pun aku lupa dimana menaruhnya.
Maafkan aku Ida...

Ida... Kau pasti ingat bagaimana kita saling mengenal. Sayang aku lupa bagaimana kita pertama mengenal, Tahu-tahu kita sudah dekat dan kau ku sayang.
Tapi bukan cuma kamu seorang, aku banyak lupa bagaimana bisa mengenal orang-orang yang tahu-tahu mereka sudah sangat berharga.
Maklumilah Ida...

Ida... Terima kasih buat semuanya
Kau yang telah mau rela sekedar menengok ke dalam lapak hati.
tidak menawar apa, tidak bertanya siapa.
Sekedar datang singgah untuk kemudian pergi,
karena aku tahu di luar hujan, rinainya masih rintik di sirap depan.

Dan kalau bau tanah dan air sudah meruap, satu dua burung gereja yang hinggap di kusen musolla bekicau riuh,
Kau pasti akan pergi,
dengan sungging simpul senyum yang hampir luntur.

Sejenak berdiri, benahi rambutmu yang lembab sambil meninggalkan senyum itu,
Senyum yang sama manis sama asamnya dengan cantigi arjuna-welirang

Kalau sudah begitu, apa lagi yang akan aku perbuat?
padahal sedari tadi kau geming menghitung rintik hujan
Dan sekarang kau sudah tiada


Selebihnya, di belahan bumi mana, di waktu yang sama,
baik-baiklah Ida...