Selasa, 18 Februari 2014

Kalau boleh ditebak, dia (bahkan tak) peduli ini buatnya


Apa kata yang tepat untuk mewakiliku sekarang, antara pesimis dan optimis, antara terus dan berhenti sejauh ini? Mencintaimu, menginginkanmu dan meletakkanmu jauh dilubuk sana, lalu berharap begitu selamanya, tapi tidak akal sehatku.

“Buat apa?”

“Buat apa katamu? Tentu buat kukemas rapat-rapat dalam hati dan menjaganya”

“Kenapa?”

“Kenapa kau masih bertanya? Aku mencintainya”

“Jangan bodoh! Kau tahu ada banyak hal yang kau tanyakan atau lebih tepatnya pertanyakan. Mana dulu jargonmu kau lahir hanya untuk mencintai wanita? Lihat! Kau ini terlalu idealis atau tak bisa menentukan sikap? Kau tak pernah percaya dengan pertemanan laki dan wanita kan!”

“Persahabatan, bukan pertemanan”

“Apalah itu…”

“Kau harus bedakan”

“Terserah…! seperti lakinya dulu kau tak bisa terima kan?”

“Aku tak seperti dia dan aku bukan dia”

“Sama saja”

“Bukannya itu tanda aku benar menyukainya?”

“Gombalmu terlalu basi, terlalu mencintai bisa membunuhmu. Toh… apa kata kakaknya coba kau cerna baik-baik. Dia tak melirik ke arahmu dan kau sendiri tahu kelak akan menyesalinya, cukuplah itu buatmu! Di hadapannya pun kau bilang menyukainya, dia jawab “semua orang bebas mencintai siapa saja yang dia suka” kau ingat?”

“Memang demikian kan? Kenapa kau masih bertanya?”

“Sudahlah, perhatikan sekitarmu, sekelilingmu!”

“Maksudmu pandangan orang-orang, omongan mereka? Buat apa peduli itu? Apa yang dipikirkan orang itu hanya kekangan buat kita.”

Hahaha… bodoh kau ini. Apa kau bukan orang? Lantas pandanganmu dan omonganmu sendiri cuma angin lalu, cuma sakit perut yang menyiksamu lalu jadi kentut?”

“Aku bisa jujur”

“Baguslah, sudah seharusnya demikian.”

“Aku tak tahu antara berusaha menerima segalanya darinya atau merasa cukup sudah, antara memujanya dan kenyataan yang ada, kenyataan kalau aku bukan apa. Tapi aku tak akan menarik kata-kataku kalau aku mencintainya dan akan melamarnya bahkan berdo’a semoga tidak ada kata “pernah” diantara kami. Pernah mencintainya, pernah akan melamarnya, pernah peduli dan menghawatirkannya, hanya menjadi kata pernah dan sebatas pernah. Kuakui sebagai pencemburu, tapi siapa aku? Dia?
Aku ingin sekali mengatakan aku bukan orang baik dan tak pantas. Apa yang dipikirkannya pun aku tak tahu. Aku ingin meyakinkannya dan melarangnya ini-itu, tapi bodoh kan? Sekali lagi, siapa aku buatnya?”

“Baguslah kau bisa dan mau sedikit jujur kalau kau berhasrat memilikinya. Itu biasa saja, manusiawi kan atau hewani? kau setuju kan kalau manusia itu hewan? Hewan yang diberi sedikit kemampuan lain berupa akal?
Intinya kau mencintainya dan berusaha menerima apa-apa darinya yang tak kau suka, lalu dengan konyolnya mengatakan “inilah cinta, penuh upaya dan perjuangan”.
Dasar goblok kau ini! Aku sadar tak ada yang namanya pasangan yang cocok dan serasi dalam segalanya lalu disinilah letak usaha mereka, “cinta” mereka yang membuat mereka menjadi orang yang benar-benar tolol. Yah… kau yang sebelumnya ceroboh, bodoh dan tolol bertambah massanya.
Tanya dia! Tanya yang kau pastinya takut buat sekedar bertanya. Kau takut dia akan enek dan nyinyir denganmu, padahal yang kau takutkan bukan itu. Kau takut kalau-kalau jawabannya tak seperti yang kau pikirkan, kau takut jawaban darinya adalah jawaban yang tak kau inginkan, takut kalau kau tak bisa peduli dan khawatir padanya lagi, kau takut harus berubah. Kau juga takut kalau jawabannya ada yang benar, benar kalau dia tak peduli dengan apa-apa yang kau pikirkan dan rasakan, pedulimu. Terlebih kau takut kalau aku benar hahaha….

“Kau tahu? Kita memang berbagi ketololan dan kegoblokan tak berkesudahan. Filosof mungkin tak akan pernah menemukan arti filsafat sebenarnya sampai akhir hayat, pecinta juga.”

“Tak usah kau membela diri, akui saja, apa pedulinya kau peduli?”

“Kalau kau ingin jawaban yang membuatmu puas, aku katakan sekali saja. Iya aku mencintainya kalau-kalau aku rela pergi jauh hanya untuknya, iya aku juga benci dia yang memberitahuku dengan halus arti jarak itu bukan antara dua benua tapi dia yang berdiri di depan pintu dan aku yang duduk di sofa tanpa mengerti satu sama lainnya.
Ada harap dan asa diantara pertanyaan mengapa. Mengapa kita tidak bisa mengerti satu sama lainnya?
Kunikmati semua selingan rasa yang silih-ganti berhampiran”

“Kau harusnya tahu diri. Kuulangi pertanyaanku supaya kau tahu sejauh mana upaya bodohmu membuahkan hasil. Dari tadi kau selalu berputar-putar kalau aku aku dan aku tapi tak tahu maumu sendiri, sok menikmati keadaanmu yang menyedihkan.
Sekarang….Apa pedulinya dia kalau kau peduli?”

Begitukah ma? Atau bukan begitukah ma?



Kairo, 131213

Tidak ada komentar:

Posting Komentar