Rabu, 19 Februari 2014

Abu-abu

Manusia itu yang abu-abu
Mereka yang tidak selalu berbuat baik kemudian menjelma menjadi orang suci
Atau mereka adalah yang pendosa?
Kau tahu pendosa itu apa? Kau kah itu?
Atau hanya yang pernah berbuat dosa? Yang mendosa?
Dalam hidup ini ada hal-hal yang tak ingin kita ingat dan berharap itu hanya ilusi atau fatamorgana atau mimpi yang (mungkin saja) tak pernah terjadi
Sayangnya...
Di dunia kita hidup sekarang ini tidak menawarkan layanan ulang
Yang dapat mengulang kejadian agar tidak seperti yang lalu

Hari ini, masa lalu esok
Hari ini, masa depan buat kemarin
Hari ini kita hidup, kita yang kemarin sudah mati. Dan hanya jadi bahan ulasan sejarah atau gunjingan
Besok, kita belum lahir



Tenggelam

Sebagian manusia menilai lainnya dari sudut pandangnya dan sudut pandangnya bahkan terbentuk jauh sebelum dia bisa menilai orang lain.

Dari kesehariannya mulai dari dia bangun sampai terlelap lagi. Apa yang dialaminya, dilihatnya, didengarnya,dibacanya, dirasanya masuk alam bawah sadarnya. Dari sinilah terbentuk pola-pikir yang menghasilkan tindak-tanduknya dan penilaiannya, lalu ke sikap dan bisa menjadi jati dirinya.

Orang yang selalu dimanja jelas berbeda dengan yang harus berusaha keras mendapatkan sesuatu, yang keras hidupnya belum tentu bisa satu meja dengan pengecut.

“Setiap orang punya masalahnya sendiri”. Siapa yang tahu akan itu, sebagian lainnya menyembunyikannya karena beberapa sebab, ada yang malu, sampai tak ingin lainnya ikut terseret kedalam masalahnya, ada pula yang meremehkan lainnya.

Malahan ada juga yang sudah terlalu jauh tersesat dan sudah tenggelam terlalu dalam. Hingga (mungkin) kita hanya bisa mendo’akan semoga dia tenang disisi-NYA dan yang dialaminya tidak menimpa lainnya dan segera berlepas dari kesulitannya. Mati secepatnya


[I HAVE SUNK SO LOW] Katanya .


Aku tetap tak tahu kalau kau (tak) akan peduli


Kalau aku tahu akan begitu jadinya, mengapa aku tetap begini? Masalahnya karena aku tahu akan begitu dan aku tetap begini. Aku tahu kau bukan satu-satunya yang akan diam saja, seperti air yang akan rusak kalau kau biarkan diam di satu tempat, dia selalu mengikuti hukum alam, menjalani lakonnya, menerima kodratnya dan tunduk patuh pada titahNya. Menempati ruang yang ada, melewati sela dan celah, mendinginkan yang sebelumnya gersang.

“Hentikan bualanmu!”

“Apa maksudmu?”

Kau kenal Penghardik itu sebagai sosok yang mendiami salah satu sudut jiwaku -yang aku belum tahu  tepinya-, dia selalu saja mempertanyakan apaku, mengkritiki lakuku dan membencimu. Aku bisa fahami geliatnya membencimu, semua karena aku cintaimu, yang kau mungkin menyeringai mendengar itu atau mengeluh nafas panjang mengetahuinya atau juga tanpa ekspresi dengan wajah datar, dan tetap saja aku mencintaimu. Aku tak peduli kata orang tentangmu, tentang aku, dan tentang kita. Aku bahkan tak pedulikan kata-kataku sendiri tentang semua itu, aku tetap begini untuk hal ini. Tapi apa aku perlu menimbang-nimbang kalau itu darimu?

Kenapa tidak, dia membencimu? kalau aku berusaha menyiangimu siang malam dalam hati sampai-sampai aku lupa kalau aku tak akan tahu kapan menuainya, kalau-kalau aku lupa untuk melihat lainnya. Terlalu disibukkan dengan setangkai bunga membuat kita lupa dahannya, daunnya, akarnya dan durinya. Pun terlalu terpatri dengan satu pohon membuat lalai akan satu taman.

Bisa saja orang berkata “biasa-biasa saja segalanya, jangan terlalu melebih!” lalu kenapa kata-kata ini hanya seperti pemanis buatan bagiku? Atau harus ku tunggu sampai kata-kata itu mampu merubahku, ketika kau sudah beranak 2 kah? Banyak yang berubah didunia ini -memang begitulah makhluk itu- dan tidak sedikit yang tidak. Kalau tuhan menciptakan alam semesta dan segalanya, maka mana yang bisa kita ubah dan mana yang tidak dan mesti disucikan juga disakralkan?.

Aku padamu yang berubah, dari tak tahu menjadi kenal lalu kagum kemudian suka dan sekarang berusaha mencintaimu. Kau lah yang tidak, tidak berubah seperti semula. Bisa saja aku bukan yang sekarang ini besok-besok, lalu kucoba membaca yang sudah-sudah dan berubah lagi. Tapi tidak kau yang seperti sedianya.

Kita berjarak, memang kita berjarak, yang jarak itu bukan menembus batas, ruang dan waktu yang berbeda. Kita bahkan berhadapan, aku di depanmu yang kau menatapku. Kau juga yang bisa berjalan disisiku dan duduk satu kursi dalam bis kota menuju terminal pasar malam. Tapi kita tak pernah semakin mendekat barang 3 mili, langkahku tak membawaku kepadamu dan kau pun tetap tak beranjak dari tempatmu berdiri. Ada dinding kasat mata yang menghalangi, atau sebenarnya kita tahu itu tapi mendiamkannya, lalu kita hanya percaya pada ihwal yang ingin kita percayai saja.

“Kau tahukan kalau aku mencintainya? Kenapa kau tak larang atau tak kau halangi?” pernah sekali kutanya orang terdekatmu.

“Aku sudah tahu, aku tak melarang –itu kebebasanmu- tapi tak juga mendukung, kalau menghalangi….buat apa? Kan sudah terhalang.” Jawabnya.

“Kau bisa mendapatkan yang lainnya” suatu kali yang lainnya berkata padaku tentang hasratku padamu.
Seperti melawan kehendak kebanyakan -aku ini padamu-. Karibmu, kawanmu, keluargamu dan akan lebih sengsara lagi kalau keinginanmu juga, padahal kehendakku sudah tak men-iya-kanku. Menyatu itu bukan hanya tentang dua orang, namun segalanya. Tapi bagaimana kalau semuanya menentang? Aku tetap berupaya karena satu alasan, karena untukmu harus menjadi aku.

-Kata tapi adalah yang paling penting- Tapi kalau harus menjadi aku, sampai kapan kalau kau tak pernah beranjak? Buat apa, kalau hanya akan menghabisi diriku sendiri? Aku selalu dicerca pertanyaan Penghardik ketika aku terseok ringkih mengarah padamu, dia akan memegang leherku dan menamparku 4 kali -2 di pipi kanan & 2 di kiri- lalu lantang berteriak sambil menggoyang-goyang tubuhku.
“Bodoh…! Bangun kau goblok! Matamu butakah? Hatimu matikah? Gila kah kau?”

Biasanya aku tak akan menghiraukannya dan tetap menatap punggungmu yang menjauh dan semakin menjauh –entah dengan siapa, lebih seringnya kau berjalan sendiri- dan melantunkan namamu yang bisa kutemui disetiap sudut kota ini. Aku akan menatap matanya hanya kalau dia sudah sendu –mungkin karena putus asa- sambil meratap.

“Apa lagi yang harus ku perbuat, kalau kau sudah mati rasa? Sudah tak peka? Aku melakukan segala cara untuk meyakinkanmu, selalu saja kau bantah dengan argumen yang tak masuk akal. Memang cinta perlu nalar dan perasaan, tapi tidak buatmu yang melebihkan salah satunya. Bukannya ini sudah bukan cinta, ini kegilaan.
Kau yang mengagungkan nalar, logika dan akal, untuk hal ini menjadi idiot. Sekarang aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, mengasianimu bukan pekerjaanku. Kalau ada orang yang mengasianimu, kau bilang “tak perlu mengasianiku, aku sedang menikmati segala momen yang ada”. Kalau ada orang yang menganggapmu bodoh, kau bilang “inilah cinta”. Apa kau tak merasa dibodohi? Dibodohi oleh dirimu sendiri.

Habis sudah kata makian untukmu. Aku harus mencari kata baru atau menunggu kata serapan untuk memakimu. Sebuah kata yang mewakiliku untuk menghujatmu, mencercamu, merasa kasihan padamu, dan yang bisa melunakkanmu. Sekarang aku belum menemukan yang paling pas, hanya saja ada kata yang sedikit bisa memberimu masukan.
Ini dariku untukmu yang paling dekat denganmu, yang paling memerhatikanmu dan yang paling menyayangimu –tentunya setelah Tuhan yang Maha Esa-, sebuah kata yang saat ini cukup untukmu itu :

Maaf….”

Waktu itu, setelah dia datang padaku dengan wajah sendu dan mimik yang sedan, dia sudah jarang bertegur sapa denganku untuk masalah ini, dia lebih sering berdiri dibalik bayang hitam mengamatiku dari jauh tanpa memunculkan ekspresi apa-apa. Aku tak suka hal itu, lebih baik dia menghajarku dari pada diam membisu. Walau memang diam lebih baik namun kadang lebih menyakitkan.

“Aku cinta kau hari ini, entah esok” bukan sebagai alasan aku akan berpaling, bukan juga sebagai pembelaan kalau-kalau aku mangkir dan khianat, tapi penegas kalau hati siapa yang tahu dan juga pengingat kalau selalu ada usaha dan pengorbanan dari sebuah ketidakpastian.

Aku selalu berusaha mencintaimu –meskipun dengan cara yang berbeda-beda- dan berdoa tak ada kata “pernah” padamu. Kan selalu ku ulangi kata itu sampai kau benar-benar menjadi alasan untuk semuanya, bagiku -bahkan setelahnya-.

Mungkin nanti di jalan akan ada yang bertanya tentangmu, pastinya kujawab :

“Alhamdulillah baik, insyaAllah…”

Baik-baiklah Ma…

Kairo, 912014

Selasa, 18 Februari 2014

Bumiku Ibuku

Bumi adalah ibu
Darinya kita bermula, padanya kita kembali
Diatas pangkuannya kita beranjak pergi, lalu
Pulang lagi merebahkan kepala
Yang sudah letih dengan
Pertanyaan-pertanyaan tak berjawab
Dan berkata : "Ibu... Aku letih"
Dan dia masih saja dengan simpul senyum
Yang tak pernah berubah berkata :
"Mari sini anakku ke timang Ibu.."

Kalau boleh ditebak, dia (bahkan tak) peduli ini buatnya


Apa kata yang tepat untuk mewakiliku sekarang, antara pesimis dan optimis, antara terus dan berhenti sejauh ini? Mencintaimu, menginginkanmu dan meletakkanmu jauh dilubuk sana, lalu berharap begitu selamanya, tapi tidak akal sehatku.

“Buat apa?”

“Buat apa katamu? Tentu buat kukemas rapat-rapat dalam hati dan menjaganya”

“Kenapa?”

“Kenapa kau masih bertanya? Aku mencintainya”

“Jangan bodoh! Kau tahu ada banyak hal yang kau tanyakan atau lebih tepatnya pertanyakan. Mana dulu jargonmu kau lahir hanya untuk mencintai wanita? Lihat! Kau ini terlalu idealis atau tak bisa menentukan sikap? Kau tak pernah percaya dengan pertemanan laki dan wanita kan!”

“Persahabatan, bukan pertemanan”

“Apalah itu…”

“Kau harus bedakan”

“Terserah…! seperti lakinya dulu kau tak bisa terima kan?”

“Aku tak seperti dia dan aku bukan dia”

“Sama saja”

“Bukannya itu tanda aku benar menyukainya?”

“Gombalmu terlalu basi, terlalu mencintai bisa membunuhmu. Toh… apa kata kakaknya coba kau cerna baik-baik. Dia tak melirik ke arahmu dan kau sendiri tahu kelak akan menyesalinya, cukuplah itu buatmu! Di hadapannya pun kau bilang menyukainya, dia jawab “semua orang bebas mencintai siapa saja yang dia suka” kau ingat?”

“Memang demikian kan? Kenapa kau masih bertanya?”

“Sudahlah, perhatikan sekitarmu, sekelilingmu!”

“Maksudmu pandangan orang-orang, omongan mereka? Buat apa peduli itu? Apa yang dipikirkan orang itu hanya kekangan buat kita.”

Hahaha… bodoh kau ini. Apa kau bukan orang? Lantas pandanganmu dan omonganmu sendiri cuma angin lalu, cuma sakit perut yang menyiksamu lalu jadi kentut?”

“Aku bisa jujur”

“Baguslah, sudah seharusnya demikian.”

“Aku tak tahu antara berusaha menerima segalanya darinya atau merasa cukup sudah, antara memujanya dan kenyataan yang ada, kenyataan kalau aku bukan apa. Tapi aku tak akan menarik kata-kataku kalau aku mencintainya dan akan melamarnya bahkan berdo’a semoga tidak ada kata “pernah” diantara kami. Pernah mencintainya, pernah akan melamarnya, pernah peduli dan menghawatirkannya, hanya menjadi kata pernah dan sebatas pernah. Kuakui sebagai pencemburu, tapi siapa aku? Dia?
Aku ingin sekali mengatakan aku bukan orang baik dan tak pantas. Apa yang dipikirkannya pun aku tak tahu. Aku ingin meyakinkannya dan melarangnya ini-itu, tapi bodoh kan? Sekali lagi, siapa aku buatnya?”

“Baguslah kau bisa dan mau sedikit jujur kalau kau berhasrat memilikinya. Itu biasa saja, manusiawi kan atau hewani? kau setuju kan kalau manusia itu hewan? Hewan yang diberi sedikit kemampuan lain berupa akal?
Intinya kau mencintainya dan berusaha menerima apa-apa darinya yang tak kau suka, lalu dengan konyolnya mengatakan “inilah cinta, penuh upaya dan perjuangan”.
Dasar goblok kau ini! Aku sadar tak ada yang namanya pasangan yang cocok dan serasi dalam segalanya lalu disinilah letak usaha mereka, “cinta” mereka yang membuat mereka menjadi orang yang benar-benar tolol. Yah… kau yang sebelumnya ceroboh, bodoh dan tolol bertambah massanya.
Tanya dia! Tanya yang kau pastinya takut buat sekedar bertanya. Kau takut dia akan enek dan nyinyir denganmu, padahal yang kau takutkan bukan itu. Kau takut kalau-kalau jawabannya tak seperti yang kau pikirkan, kau takut jawaban darinya adalah jawaban yang tak kau inginkan, takut kalau kau tak bisa peduli dan khawatir padanya lagi, kau takut harus berubah. Kau juga takut kalau jawabannya ada yang benar, benar kalau dia tak peduli dengan apa-apa yang kau pikirkan dan rasakan, pedulimu. Terlebih kau takut kalau aku benar hahaha….

“Kau tahu? Kita memang berbagi ketololan dan kegoblokan tak berkesudahan. Filosof mungkin tak akan pernah menemukan arti filsafat sebenarnya sampai akhir hayat, pecinta juga.”

“Tak usah kau membela diri, akui saja, apa pedulinya kau peduli?”

“Kalau kau ingin jawaban yang membuatmu puas, aku katakan sekali saja. Iya aku mencintainya kalau-kalau aku rela pergi jauh hanya untuknya, iya aku juga benci dia yang memberitahuku dengan halus arti jarak itu bukan antara dua benua tapi dia yang berdiri di depan pintu dan aku yang duduk di sofa tanpa mengerti satu sama lainnya.
Ada harap dan asa diantara pertanyaan mengapa. Mengapa kita tidak bisa mengerti satu sama lainnya?
Kunikmati semua selingan rasa yang silih-ganti berhampiran”

“Kau harusnya tahu diri. Kuulangi pertanyaanku supaya kau tahu sejauh mana upaya bodohmu membuahkan hasil. Dari tadi kau selalu berputar-putar kalau aku aku dan aku tapi tak tahu maumu sendiri, sok menikmati keadaanmu yang menyedihkan.
Sekarang….Apa pedulinya dia kalau kau peduli?”

Begitukah ma? Atau bukan begitukah ma?



Kairo, 131213

Hampir Lupa

aku hampir2 lupa untuk mengingatmu kala purnama,
yg setiap datangnya selalu teringat parasmu, bibirmu, matamu,

suaramu, aromamu
bukan karena ketidakhadiranmu kali ini, karena memang selalu

tanpa kehadiranmu
tapi karena hari2 ini banyak yg terlupakan

Senin, 17 Februari 2014

Binar 3

kapan kita bertemu
atau bisakah kita bertemu
nyatanya kita bertemu, walau di mimpi
tidak seperti yg pernah kualami
sobat karib yg lama tak bersua,
dia jauh disana
tapi kau, jauhmu beda
kan ku susul kau, yg entahlah
bayanganmu tak bisa kutepis
datang silih berganti, momen yg berbeda
kutemui kau bertanya, bersenda, mengheran
kudengar kau teraniaya, mempertanyakan
kutemani kau berjalan, berlari, menari
kudatangi kau terlelap, makan, berteriak
aku lupa aromamu, suaramu hanya lirih
jalan beraspal yg kita lalui masih adakah
tatapanmu nanar pandanganmu binar meredup 


*Buatmu kawan, lama kita tak sua

Binar 2

Kau yang terbujur kaku
Mengapa wajahmu mengapas
Mengenalmu tak seperti sebelumnya
Tatapanmu nanar
Aku dihadapankanmu

Mendengar kabarmu, aku bertanya bimbang
cemas penuh harap, berharap ada yang salah
Mungkin di lidah orang atau telingaku
Tergambar jelas air mukamu, parau suaramu
tawa khasmu, kian jelas
Lenyap




*Buatmu kawan, lama kita tak sua

Minggu, 16 Februari 2014

Binar 1

jalanan langgeng sunyi senyap sepi tak bergeming
disinari kuning merkuri tiap 11 meternya
ada yang hilang, sebagiannya pecah
laron mengerebungi salah satunya
satu dua tersesat di lain tempat
tak ada yang berani angkat suara
seakan lidahnya terpotong
hanya angin yg berbisik lirih
entah potongannya kurang dalam
atau ada yang mendesaknya
jauh di gelap sana
seakan sepasang mata mengamati
dibawah temaramnya sosok itu
membatu mengapas mengelupas
tak ada yang menyadarinya
sampai truk melewatinya
sebelum pijar merah lampunya
hilang tertelan di ujung jalan berkelok
dan lagi-lagi hanya angin
yg membawa lirih sedu nan sedan
dibawah temaram rembulan nan gersang


*Buatmu kawan, lama kita tak sua

Jumat, 14 Februari 2014

Kedung Larangan

bangil
bau tanah becekmu, masih samakah
air langitmu, masih seperti dulukah
gemuruhmu, masih keraskah
alun-alunmu
masihkah tegak beringinnya
masihkah lembab rumputnya
masihkah gelap petangnya
kedungmu
masih dangkalkah airnya
masih kokohkah jembatannya
masih banjirkah
aroma sedap malammu masih ku ingat

bangil, masihkah kau ku rindu

Kamis, 13 Februari 2014

Buat apa?

Buat apa membangun?
Kalau kau yang akan meruntuhkannya.
Buat apa hidup kalau kau akan membunuhnya?
Pisaumu tak setajam tatapanmu
Suaranya tercekat dibalik batang kerongkongannya
Aku tak tahu (    )
Pitanya atau tidak
(   ) berlari tak bertaring
Berkukubelah
Lainnya duduk tenang
Dengan tatapan dingin
Bengis tak berperasaan
Yang memutuh rambutnya
Berharap belas kasih
Buat apa? Menanam kalau kau yang menjarah

Minggu, 09 Februari 2014

Untukmu Ma..nisku

selagi saya berakal sehat,
saya ceritakan dengan kepala dingin ( soalannya sering kalap dan gelap mata sekedar memikirkanmu manis...)
kuakui benar aku cinta kau, tapi sebelumnya, saya pun awam soalan kata ini -cinta-(mungkin juga ini yang menyebabkan sering dibutakan dengan kenyataan dan keyakinan kita), bagi saya semua kata mewakili dirinya sendiri -artiannya, maknanya dan esensinya- tanpa perlu pemaknaan dari kata lainnya dan penunjang kata lain.
tapi manis...
"kata" itu kosong.
tak membawa dampak atau maksud apa-apa bahkan tak beda dengan hanya sekedar bersuara dan berbunyi, semua mungkin bisa berbunyi, angin yang menggerakkan pohon bambu membunyikan laras atau air yang dipercik ikan disungai atau gesekan sepatu-sandalmu dengan trotoar melangkah ke kuliah, manis...
namun, suara pun kadang mendatangkan makna dan tafsiran yang beragam, semisal semilir angin dari pantai madura atau bunyi jalan ulin yang dilewati motor atau hembusan angin utara di gunung arjuna.
apalagi sebuah kata yang saling kita fahami, tentu "kata" lebih dari hanya sekedar bunyi atau suara,
tapi "kata" tetaplah kosong selama belum terisi, dan yang mengisinya, menjadikannya memiliki arti dan makna adalah aplikasinya, penerapannya.

selama ini ketika mengingatmu ada sembilu di kalbu menyayat, karena tahu aku tak menemukan apa yang kucari,, hatimu.
bukan seluruhnya karena kita memang sama mengimani Tuhan,
bukan juga sebagiannya karena tentu masih banyak orang2 yang harus kau letakkan rapi tersusun di sanubarimu.
aku hanya ingin menemukannya, itu saja.
kadang pula aku merasakan semilir hanya dari sebuah obrolan ringan kita, lakumu, balasan pesanmu bahkan hanya sebatas sapaanmu.
kadang pula otakku bekerja dua kali ketika menerka-nerkamu, silih ganti memuja dan menghujatmu.
kupuja kau kalau-kalau kau besok melahirkan anakku, kuhujat seakan aku tahu bapak anak itu bukan aku.
kalau kau pernah dengar "love drive you crazy", saya kira dulu cuma bualan, tapi sekarang saya diambang kegilaan.

manis... kalau selama ini kau dapati aku tak tentu, itu semua karena memang cinta hanya seperti kata lainnya yang kosong, dia sama seperti kata benci, dendam atau karma.
kosong...
sampai ada penerapannya...
dan selama ini aku berusaha mengisi kata itu dengan berbagai cara yang -karena mengisi kosongnya kata hanya dengan perbuatan- bisa jadi lakuku padamu selama ini kau terima baik, ada pula yang yang kau sesalkan kau kecam,
maafkan aku...

manis... kau tahu diambang ini, aku pesakit
kau lah sebabnya, kau pula obatnya...
katakan sesuatu dan itu memang perlu,,,
bilang "jangan!" supaya tak was-was hati ini...
atau kalau kau rasa aku bisa menemukan hatimu -yang hanya kau yang bisa menuntun kesana, setelah Yang Maha Kuasa-
tunjuki ku arahnya..
itu saja,,, ma..nis

24/1/2014