Kalau aku tahu akan begitu
jadinya, mengapa aku tetap
begini? Masalahnya karena aku tahu akan begitu dan aku tetap begini. Aku tahu
kau bukan satu-satunya yang akan diam saja, seperti air yang akan rusak kalau
kau biarkan diam di satu tempat, dia selalu mengikuti hukum alam, menjalani
lakonnya, menerima kodratnya dan tunduk patuh pada titahNya. Menempati ruang
yang ada, melewati sela dan celah, mendinginkan yang sebelumnya gersang.
“Hentikan bualanmu!”
“Apa maksudmu?”
Kau kenal Penghardik itu sebagai
sosok yang mendiami salah satu sudut jiwaku -yang aku belum tahu tepinya-, dia selalu saja mempertanyakan
apaku, mengkritiki lakuku dan membencimu. Aku bisa
fahami geliatnya membencimu, semua karena aku cintaimu, yang kau mungkin
menyeringai mendengar itu atau mengeluh nafas panjang mengetahuinya atau juga
tanpa ekspresi dengan wajah datar, dan tetap saja aku mencintaimu. Aku tak peduli
kata orang tentangmu, tentang aku, dan tentang kita. Aku bahkan tak pedulikan
kata-kataku sendiri tentang semua itu, aku tetap begini untuk hal ini. Tapi apa
aku perlu menimbang-nimbang kalau itu darimu?
Kenapa
tidak, dia membencimu? kalau aku berusaha menyiangimu siang malam dalam hati
sampai-sampai aku lupa kalau aku tak akan tahu kapan menuainya, kalau-kalau aku
lupa untuk melihat lainnya. Terlalu disibukkan dengan setangkai bunga membuat
kita lupa dahannya, daunnya, akarnya dan durinya. Pun terlalu terpatri dengan
satu pohon membuat lalai akan satu taman.
Bisa
saja orang berkata “biasa-biasa saja segalanya, jangan terlalu melebih!” lalu
kenapa kata-kata ini hanya seperti pemanis buatan bagiku? Atau harus ku tunggu
sampai kata-kata itu mampu merubahku, ketika kau sudah beranak 2 kah? Banyak
yang berubah didunia ini -memang begitulah makhluk itu- dan tidak sedikit yang
tidak. Kalau tuhan menciptakan alam semesta dan segalanya, maka mana yang bisa
kita ubah dan mana yang tidak dan mesti disucikan juga disakralkan?.
Aku
padamu yang berubah, dari tak tahu menjadi kenal lalu kagum kemudian suka dan
sekarang berusaha mencintaimu. Kau lah yang tidak, tidak berubah seperti
semula. Bisa saja aku bukan yang sekarang ini besok-besok, lalu kucoba membaca
yang sudah-sudah dan berubah lagi. Tapi tidak kau yang seperti sedianya.
Kita
berjarak, memang kita berjarak, yang jarak itu bukan menembus batas, ruang dan
waktu yang berbeda. Kita bahkan berhadapan, aku di depanmu yang kau menatapku.
Kau juga yang bisa berjalan disisiku dan duduk satu kursi dalam bis kota menuju
terminal pasar malam. Tapi kita tak pernah semakin mendekat barang 3 mili,
langkahku tak membawaku kepadamu dan kau pun tetap tak beranjak dari tempatmu
berdiri. Ada dinding kasat mata yang menghalangi, atau sebenarnya kita tahu itu
tapi mendiamkannya, lalu kita hanya percaya pada ihwal yang ingin kita percayai
saja.
“Kau
tahukan kalau aku mencintainya? Kenapa kau tak larang atau tak kau halangi?”
pernah sekali kutanya orang terdekatmu.
“Aku
sudah tahu, aku tak melarang –itu kebebasanmu- tapi tak juga mendukung, kalau
menghalangi….buat apa? Kan sudah terhalang.” Jawabnya.
“Kau
bisa mendapatkan yang lainnya” suatu kali yang lainnya berkata padaku tentang
hasratku padamu.
Seperti
melawan kehendak kebanyakan -aku ini padamu-. Karibmu, kawanmu, keluargamu dan
akan lebih sengsara lagi kalau keinginanmu juga, padahal kehendakku sudah tak
men-iya-kanku. Menyatu itu bukan hanya tentang dua orang, namun segalanya. Tapi
bagaimana kalau semuanya menentang? Aku tetap berupaya karena satu alasan,
karena untukmu harus menjadi aku.
-Kata
tapi adalah yang paling penting- Tapi kalau harus menjadi aku, sampai kapan
kalau kau tak pernah beranjak? Buat apa, kalau hanya akan menghabisi diriku sendiri?
Aku selalu dicerca pertanyaan Penghardik ketika aku terseok ringkih mengarah
padamu, dia akan memegang leherku dan menamparku 4 kali -2 di pipi kanan &
2 di kiri- lalu lantang berteriak sambil menggoyang-goyang tubuhku.
“Bodoh…! Bangun kau goblok! Matamu butakah? Hatimu matikah? Gila kah kau?”
Biasanya
aku tak akan menghiraukannya dan tetap menatap punggungmu yang menjauh dan
semakin menjauh –entah dengan siapa, lebih seringnya kau berjalan sendiri- dan
melantunkan namamu yang bisa kutemui disetiap sudut kota ini. Aku akan menatap
matanya hanya kalau dia sudah sendu –mungkin karena putus asa- sambil meratap.
“Apa lagi yang harus ku perbuat, kalau kau sudah mati rasa? Sudah tak
peka? Aku melakukan segala cara untuk meyakinkanmu, selalu saja kau bantah
dengan argumen yang tak masuk akal. Memang cinta perlu nalar dan perasaan, tapi
tidak buatmu yang melebihkan salah satunya. Bukannya ini sudah bukan cinta, ini
kegilaan.
Kau yang mengagungkan nalar, logika dan akal, untuk hal ini menjadi idiot.
Sekarang aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, mengasianimu bukan pekerjaanku.
Kalau ada orang yang mengasianimu, kau bilang “tak perlu mengasianiku, aku
sedang menikmati segala momen yang ada”. Kalau ada orang yang menganggapmu
bodoh, kau bilang “inilah cinta”. Apa kau tak merasa dibodohi? Dibodohi oleh
dirimu sendiri.
Habis sudah kata makian untukmu. Aku harus mencari kata baru atau menunggu
kata serapan untuk memakimu. Sebuah kata yang mewakiliku untuk menghujatmu,
mencercamu, merasa kasihan padamu, dan yang bisa melunakkanmu. Sekarang aku
belum menemukan yang paling pas, hanya saja ada kata yang sedikit bisa
memberimu masukan.
Ini dariku untukmu yang paling dekat denganmu, yang paling memerhatikanmu
dan yang paling menyayangimu –tentunya setelah Tuhan yang Maha Esa-, sebuah kata
yang saat ini cukup untukmu itu :
Maaf….”
Waktu
itu, setelah dia datang padaku dengan wajah sendu dan mimik yang sedan, dia
sudah jarang bertegur sapa denganku untuk masalah ini, dia lebih sering berdiri
dibalik bayang hitam mengamatiku dari jauh tanpa memunculkan ekspresi apa-apa.
Aku tak suka hal itu, lebih baik dia menghajarku dari pada diam membisu. Walau memang
diam lebih baik namun kadang lebih menyakitkan.
“Aku
cinta kau hari ini, entah esok” bukan sebagai alasan aku akan berpaling, bukan
juga sebagai pembelaan kalau-kalau aku mangkir dan khianat, tapi penegas kalau
hati siapa yang tahu dan juga pengingat kalau selalu ada usaha dan pengorbanan
dari sebuah ketidakpastian.
Aku
selalu berusaha mencintaimu –meskipun dengan cara yang berbeda-beda- dan berdoa
tak ada kata “pernah” padamu. Kan selalu ku ulangi kata itu sampai kau
benar-benar menjadi alasan untuk semuanya, bagiku -bahkan setelahnya-.
Mungkin
nanti di jalan akan ada yang bertanya tentangmu, pastinya kujawab :
“Alhamdulillah
baik, insyaAllah…”
Baik-baiklah Ma…
Kairo, 912014